Negara-negara yang selama ini membiayai defisit perdagangan Amerika dengan memberikan
hutang kepada mereka lewat
pembelian treasury note dan government bond Amerika akan mulai menjual surat hutang Amerika
yang mereka pegang, mengurangi pembelian surat hutang baru atau bahkan tidak
mau membeli
sama
sekali
surat
hutang Amerika di tahun-
tahun mendatang.
Coba Anda bayangkan perumpamaan ini:
Di sebuah desa terdapat 3
orang: A, B, dan C. A menanam
jagung, B membuat gerobak, dan C hidup sebagai nelayan yang menjual ikan. Selama bertahun-tahun,
mereka berdagang dengan cara
barter, di mana produk yang
mereka produksi mereka tukarkan dengan produk orang lain dalam jumlah yang menurut mereka nilainya
setara.
Pada suatu tahun, karena suatu masalah,
tanaman jagung A gagal panen,
dan dia tidak punya jagung untuk ditukarkan
dengan B dan C. Karena
B dan C memang kelebihan persediaan
gerobak dan ikan, dan juga karena selama
ini A
adalah orang yang jujur, maka B &
C
memutuskan untuk memberikan hutang kepada A. A akan menulis selembar
surat hutang, menyatakan bahwa dia akan mendapatkan
gerobak dan ikan dari B & C dalam jumlah tertentu, dan akan mengembalikan
nilai barang tersebut dengan
jagung yang akan dia bayarkan pada musim panen berikut.
Hasilnya,
semua orang merasa puas. A mendapatkan
gerobak dan ikan untuk bertahan hidup, dan B & C pun berhasil “menjual” produksi mereka.
Di musim panen berikut, lagi-lagi A mengalami
musibah. Jagungnya kembali gagal panen, dan dia kembali menulis surat hutang kepada B & C untuk “membeli”
gerobak dan ikan mereka. B & C
sedikit merasa tidak senang,
namun karena mereka sangat percaya kepada A, mereka menerima
surat hutang dari A. Di hari-hari kemudian, surat hutang yang ditulis A
bahkan bisa diperdagangkan antara B & C untuk saling bertukar gerobak dan ikan.
Suatu ketika, A merasa bahwa strategi
surat hutang yang dia tulis ini bisa bertahan
selamanya, dan dia mulai mengabaikan
tanaman jagung dia sama sekali. Dia menghabiskan kebanyakan waktunya untuk
menikmati hidup
dan
bermain golf.
Ketika musim panen
tiba, dia tinggal menulis
surat hutang baru kepada B & C.
B & C, yang merasa ada
yang tidak beres dengan tindakan
A, kemudian pergi ke ladang A untuk melakukan
investigasi, dan terkejut karena
ternyata
A
bahkan
tidak
menanam
bibit jagung. A sudah tidak memiliki kapasitas produksi yang cukup untuk membayar hutangnya. B & C akhirnya menyadari bahwa “penjualan” mereka kepada A selama ini adalah imaginer.
Mereka tidak akan mendapatkan
kembali nilai barang (jagung)
dari A sebesar nilai gerobak
dan ikan yang selama ini sudah mereka berikan kepada A.
Di dunia nyata,
A
adalah
Amerika. Namun, perbedaan A dengan Amerika adalah Amerika memiliki dominasi senjata
dan kekuatan militer yang tidak dimiliki oleh A
terhadap B & C.
Seandainya A memiliki
dominasi militer
terhadap B & C sehingga B & C tidak sanggup melawan A, maka mereka harus menerima surat
hutang dari A, yang sebenarnya tidak bisa ditukarkan dengan barang, alias B &
C
harus
menyerahkan
produksi gerobak dan ikan mereka kepada A secara gratis, sebab surat hutang dari A memang
tidak lebih dari selembar “kertas sampah.”
Amerika hari ini sedang di ujung kebangkrutan, satu-satunya senjata mereka adalah kekuatan dan dominasi
militer mereka di dunia. Selama penjualan semua
komoditi utama di dunia
(terutama minyak bumi) masih wajib dilakukan dengan dolar Amerika, mereka bisa yakin bahwa surat hutang dolar mereka akan selalu ada pembeli, sebab setiap negara pasti harus
membeli dolar Amerika supaya bisa mengimpor
minyak dan komoditi ke negara masing-masing.
Di akhir tahun 2000, Saddam Hussein mencoba melawan dolar dengan mewajibkan
penjualan minyak Irak dalam mata uang Euro,
dan
itu
memicu Amerika
untuk menyerang Irak. Beberapa tahun kemudian,
Saddam pun berakhir di tiang
gantungan. Sejak tahun 2006, Presiden
Iran Ahmadinejad mulai
melakukan hal yang sama. Dia menjual minyak dengan mata
uang Euro dan Yen. Tak perlu ditanya,
Amerika tidak akan melepaskan Iran. Negara
lain
yang
juga sedang
mempromosikan penjualan minyak lewat mata uang Euro
adalah Venezuela. Presiden mereka, Hugo Chavez,
adalah target
berikut.
Kami percaya, suatu saat hegemoni dolar Amerika akan berakhir. Dalam sejarah dunia, semua kekaisaran yang berkembang terlalu besar, yang menghabiskan uang
terlalu
banyak, selalu berujung ke takdir yang sama, tumbang.
Kita memang tidak tahu bagaimana dan
kapan penjajahan Amerika terhadap dunia ini akan berakhir, tetapi suatu saat, dan mungkin
tidak terlalu lama lagi, negara-negara di dunia, sekalipun secara militer tidak semaju Amerika, akan menolak menerima dolar-dolar sampah
dari negeri koboi itu.
Hari ini, akumulasi
hutang pemerintah Federal Amerika sudah mencapai
$8,9 trilyun, dan di akhir bulan September
2007 ini, Konggres Amerika baru saja menyetujui
permintaan pemerintahan
Bush
untuk menaikkan
debt ceiling menjadi
$9,82 trilyun pada tahun 2008, artinya mereka akan menerbitkan surat
hutang sebesar hampir $1 trilyun lagi dalam waktu 12 bulan mendatang.
Dan jangan lupa pemerintah
Amerika masih memiliki beban hutang
lain dalam bentuk
Social
Security, Medicare, Homeland Security, dan Federal Employee
and Veteran Benefits and
Health
Care sebesar $76 trilyun
(jatuh temponya antara 2008 – 2030) yang tidak tahu akan dibiayai dari mana (politisi Amerika menyebutnya “unfunded
liabilities”).
Dalam proses menuju keruntuhan,
turunnya nilai dolar akan memicu kenaikan berbagai komoditi
utama dunia, sebab semua komoditi
dunia (terutama minyak bumi dan gas)
diperdagangkan dalam mata uang dolar. Besarnya
inflasi yang akan dialami oleh masing-masing negara di dunia akan
tergantung performa masing-masing mata uang mereka terhadap dolar Amerika.
Sebagai perumpamaan (angka-angka berikut hanya spekulasi
semata)
Harga minyak
bulan Oktober 2007 :
$85 / barrel.
Kurs US – Rp (9150) : Rp 778 ribu per barrel.
Tiga tahun mendatang,
karena
jatuhnya
dolar,
harga
minyak 2010 : $150 / barrel.
Kurs US – Rp (8000)
: Rp 1,2 juta per barrel.
Dalam US Dolar,
minyak naik 76% dalam tiga tahun menjadi
$150 / barrel.
Dalam Rupiah, minyak naik 54% dalam tiga tahun menjadi Rp
1,2
juta / barrel.
(Apresiasi / Kenaikan Rupiah terhadap Dolar Amerika
kemungkinan besar tidak akan sebesar yang akan terjadi pada
mata uang lain karena efek negatif Peak
Oil
di APBN : lihat subbab berikut
tentang Peak Oil)
Korban terbesar seolah-olah adalah rakyat Amerika, tetapi dalam kehidupan riil sebenarnya sama saja. Penduduk (terutama
kelas menengah dan orang miskin) di negara-negara
lainnya tetap akan menanggung
kenaikan biaya hidup mereka.
Padahal persaingan antar
negara
dalam
memperebutkan modal kapitalis membuat upah pekerja terus ditekan serendah mungkin. Kelas pekerja akan menghadapi
masa-masa yang semakin sulit karena naiknya
biaya hidup mereka tidak bisa diikuti oleh naiknya pendapatan riil.
menjerumuskan dolar Amerika ke titik terendahnya dalam sejarah. Tetapi ini benar-benar sesuai dengan skenario dunia yang diinginkan Illuminati. Jatuhnya dolar akan memicu inflasi besar-besaran di Amerika pada tahap awal, dan kemudian menyebar ke negara-negara lain pada tahap berikut.
Bicara soal defisit anggaran, pemerintah Indonesia sudah melakukannya sejak dulu. REPELITA versi Presiden
Soeharto dibiayai secara masif lewat hutang
luar negeri. Alasan mengapa Indonesia belum bangkrut karena kita memiliki
sedemikian banyaknya sumber daya alam yang masih bisa dilego. Namun itu pun tidak bisa bertahan selamanya.
Saat ini, hutang luar negeri pemeritah mencapai
600 trilyun rupiah, ditambah dengan SUN (Surat Hutang Negara) sebesar hampir 800 trilyun,
total
hutang
pemerintah adalah
1400
trilyun : Rp. 1.400.000.000.000.000,-
dan angka ini terus bertambah dari bulan ke bulan. Satu hal yang perlu kita renungkan, hutang
600
trilyun
luar negeri
kita adalah akumulasi sejak
lebih
dari
30
tahun
yang
lalu,
tetapi
SUN adalah
produk baru yang diciptakan
sejak 7 tahun yang lalu,
namun hanya dalam waktu 7 tahun hutang di SUN sudah melebihi hutang ke luar negeri... Sebuah negara pada dasarnya
sama dengan sebuah keluarga,
dan sama juga dengan seorang individu, seharusnya
berupaya agar uang masuk
lebih besar dari uang keluar. Untuk
melunasi hutang-hutang ini, logikanya Indonesia
harus mempertahankan aset negara sebanyak
mungkin, dan kalau perlu memonopoli
bisnis-bisnis menguntungkan tertentu agar penerimaan negara bisa diamankan dan terus bertambah.
Memang benar Indonesia memiliki banyak sumber daya alam,
namun aset itu berharga
hanya kalau yang memilikinya adalah negara. Namun yang kita lihat terus-menerus beberapa tahun
terakhir adalah penjualan
BUMN atas nama privatisasi.
Suatu hari, ketika BUMN, tanah,
dan sumber daya alam yang bisa
dilego sudah habis, bagaimana pemerintah kita akan
menambal kas penerimaan di anggaran
belanja negara? Menaikkan pajak terhadap rakyatnya? Terus-menerus mencetak uang baru dan membawa
kita ke era hiperinflasi?
Mengenai sumber daya alam, mungkin lebih jujur kalau
pemerintah kita segera
mengamandemen kembali
pasal
33
UUD menjadi...
“Bumi, air, dan semua sumber daya alam dan mineral yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu diprivatisasikan oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran pribadi dan kelompoknya.” Sebuah contoh kasus menarik, akhir-akhir ini di kota Batam, pemegang hak monopoli atas penyediaan air bersih, PT. ATB, mengancam bahwa bila Otorita Batam tidak mengizinkan mereka menaikkan harga jual air, mereka tidak akan menyambungkan air bersih di perumahan baru yang dibangun para pengembang di Batam. Alasan mereka adalah karena mereka tidak memiliki uang untuk membangun infrastruktur baru dan memperbaiki infrastruktur lama mereka tanpa menaikkan harga jual air, dan menurut mereka, bank tidak mau memberikan pinjaman baru kalau harga jual air tidak dinaikkan. Ironisnya, PT. ATB sanggup membagikan dividen sebesar puluhan milyar setiap tahunnya kepada para pemegang sahamnya. Mengapa beban operasional mereka harus dibebankan kepada penduduk lewat kenaikan harga jual air, bukannya menggunakan cara lain yang lebih umum, seperti menunda atau mengurangi porsi dividen dan menyetor modal kerja baru? Jawabannya adalah karena mereka bisa, hak monopoli memang ada di tangan mereka...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar